BIMBINGAN KONSELING DENGAN PENDEKATAN Behavioral
1. Pengertian Konseling Behavioral
Konseling Behavioral adalah penerapan
aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang
belajar dengan menyertakan penerapan sistematis prinsip-prinsip belajar pada
perubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif.
Menurut Corey (2003 : 196), pendekatan
ini banyak memberikan sumbangan dalam bidang klinis ataupun pendidikan. Dengan
landasan teori belajar modifikasi pelaku dan terapi tingkah laku adalah
pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berusaha dengan
pengubahan tingkah laku.
Krumboltz dan Thoresen (dalam Vitalis DS,
2010 : 38) mengemukakan bahwa konseling behavioristik adalah suatu proses
belajar atau belajar kembali untuk belajar perilaku baru dalam mengatasi
permasalahan sehingga menghasilkan perubahan nyata, dapat disaksikan
secara jelas.
Menurut Hackmann (dalam Latipun 2005 :
129), konseling behavioristik atau terapi tingkah laku adalah pengubahan
perilaku yang menekankan pada aspek fisiologis, perilaku maupun kognitif.
Menurut Rachman dan Wolpe (dalam Latipun 2005: 129), konseling behavioristik
dapat menangani masalah perilaku mulai dari kegagalan individu untuk belajar
merespon secara adaptif hingga mengatasi masalah gejala neurosis.
Selain itu, penegasan yang terpenting
dari bebavioristik terletak pada perhatian yang hanya tertuju pada sesuatu yang
dapat diamati secara ilmiah, yang memungkinkan terjadinya pengukuran. Ukuran
yang dimaksud terletak pada suatu respon (perilaku) dan akibat yang mengikuti
respon.
Bertolak dari berbagai pendapat para ahli
diatas, dapat diuraikan bahwa terapi tingkah laku atau behavior dalam konseling
behavioristik merupakan salah satu teknik terapi yang digunakan dalam membantu
mengubah individu atau kelompok yang mengalami penyimpangan perilaku
(maladaptif) kepada perilaku yang adaptif.
2.
Pemahaman tentang Konseling
Behavioristik
Pendekatan behavioristik merupakan sebuah
pendekatan dalam konseling yang secara umum masih dipergunakan oleh para
konselor. Pendekatan ini berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serangkaian
hasil belajar. Apa dilakukan oleh seseorang merupakan hasil produksi dari
lingkungan yang dominan seperti orang tua, sekolah , masyarakat atau orang lain
yang berpengaruh (significant other).
Manusia dianggap sebagai makhluk yang tidak mempunyai daya apa-apa (determinitif). Manusia identik dengan
robot, yang tidak memiliki inisiatif dan hanya bisa melakukan sesuatu karena
merespon sebuah perintah atau aturan.
Walaupun teori ini sudah banyak ditentang
oleh aliran-aliran baru dalam konseling, tetapi teori ini tetap eksis dengan
melakukan beberapa modifikasi. Skinner (dalam Ninik Sriasih, 2012) menyatakan
bahwa pandangan teori behavioristik terhadap manusia adalah :
a. Perilaku
organisme bukan merupakan suatu fenomenal mental, lebih ditentukan dengan
belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian,
b. Perkembangan
kepribadian bersifat deterministik,
c. Perbedaan
individu karena adanya perbedaan pengalaman,
d. Dualisme
seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah,
tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia, dan
e. Walaupun
perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum
lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar. Uraian
tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah sosok yang sangat determistik.
3.
Terapi Perilaku dalam Konseling
Behavoristik
Terapi perilaku sangat berbeda dengan
pendekatan-pendekatan konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai pada (a)
pemusatan perhatian pada bentuk perilaku tampak dan spesifik, (b) kecermatan
dan penguraian tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang spesifik
yang sesuai dengan masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil
terapi menurut (Corey, 2007:16).
Konseling
behavioristik dapat mengatasi masalah – masalah klien yang mengalami fobia,
cemas, gangguan seksual, penggunaan zat adiktif, obsesi, despresi, gangguan kepribadian,
serta sejumlah gangguan pada anak (Hackmann dalam Dani Miftah, dkk.,
2010). Menurut Krumboltz dan Thoresen
(dalam Dani Miftah, dkk., 2010), konseling behavior merupakan suatu proses
membantu orang untuk memecahkan masalah interpersonal, emosional dan keputusan
tertentu.
Urutan pemilihan dan penetapan tujuan
dalam konseling yang digambarkan oleh Cormier and Cormier (Corey dalam Dani
Miftah., 2010 ) sebagai salah satu bentuk kerja sama antara konselor dan klien
sebagai berikut :
a. Konselor
menjelaskan maksud dan tujuan.
b. Klien
mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling.
c. Klien
dan konselor menetapkan tujuan yang ditetapkan apakah merupakan perubahan yang
dimiliki oleh klien.
d. Bersama-sama
menjajaki apakah tujuan itu realistik.
e. Mendiskusikan
kemungkinan manfaat tujuan.
f. Mendiskusikan
kemungkinan kerugian tujuan.
g. Atas
dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien, konselor dan klien membuat
salah satu keputusan berikut : untuk yang spesifik, yang sesuai dengan masalah,
(d) penaksiran obyektif atas hasil-hasil terapi (Gerald Corey, 2007 :
196).
4. Konsep
Dasar Konseling Behavioristik
Manusia adalah makhluk reaktif yang
tingkah lakunya dikonrol oleh faktor- faktor dari luar. Manusia memulai kehidupannya dengan
memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan
pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian (Koeswara, 2007).
Manusia bukanlah hasil dari golongan
tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan
memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Karateristik konseling behavioristik
adalah: (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan
kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur
perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif
terhadap tujuan konseling (Koeswara, 2007).
5. Asumsi
Tingkah Laku Bermasalah dalam Konseling Behavioristik
Tingkah laku
bermasalah adalah :
a. Tingkah
laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan- kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat,
yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntunan lingkungan.
b. Tingkah
laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang
salah.
c. Manusia
bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari
lingkungannya. Tingkah laku maladatif
terjadi juga karena kesalahpahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
d. Seluruh
tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut
dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar (Sugiharto, 2009).
6. Tujuan
Konseling Behavioristik
Chamblers dan goldstein (dalam Gililand,
1989) menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai pribadi yang sehat
atau tidak sehat. Hal ini disebabkan para tokoh aliran ini mengakui bahwa
perilaku maladaptif adalah seperti perilaku adaptif, yaitu dipelajari. Sehingga, tujuan konseling dalam pendekatan
ini adalah mengajak konseli untuk belajar perilaku baru, yaitu perilaku yang
dikehendaki oleh lingkungan yang dominan.
Menurut Krumboltz (dalam Latipun,
2006:138) tujuan konseling behavioristik adalah mengubah perilaku salah yang
tampak sangat berguna dibandingkan tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam makna
yang sangat luas, diharapkan dapat menghasilkan perubahan-perubahan perilaku
yang jelas. Tujuan konseling tersebut meliputi :
a. Tujuan
konseling harus dibuat secara berbeda untuk setiap klien.
b. Tujuan
konseling untuk setiap klien akan dapat dipadukan dengan nilai-nilai konselor,
meskipun tidak perlu identik.
c. Tujuan
konseling disusun secara bertingkat yang dirumuskan dengan perilaku yang dapat
diamati dan dicapai klien.
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama)
menetapkan/ merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
7. Prinsip
Kerja Teknik Konseling Behavioristik
Menurut Akhmad Sudrajat (dalam Barnawi,
2011) prinsip kerja teknik konseling
behavioristik meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Memodifikasi
tingkah laku melalui pemberian penguatan.
Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut
hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan
nyata-nyata ditampilkan melalui timngkah laku klien.
b. Mengurangi
frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
c. Memberikan
penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan
tingkah laku yang tidak diinginkan.
d. Mengkondisikan
pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape
recorder, atau contoh nyata langsung).
e. Merencanakan
prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan
sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi
maupun keuntungan sosial.
8. Penerapan
Teknik Konseling Behavioristik
Menurut Goldenberg (dalam Latipun,
2006:141) teknik-teknik konseling behavioristik, dapat meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Latihan
Asertif
Teknik ini digunakan untuk melatih klien yang
mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau
benar. Latihan ini terutama berguna di
antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan
tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon
positif lainnya. Cara yang digunakan
adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi
kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
b. Desensitisasi
Sistematis
Desensitisasi Sistematis merupakan teknik
konseling behavioristik yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari
ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan
tingkah lau yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang
berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon
yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi
sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus
tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia
menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan
dihilangkan.
c. Pengkondisian
Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan
kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang
disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan
tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak
dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi
antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak
menyenangkan.
d. Pembentukan
Tingkah Laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk
tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk.
Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model,
dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang
teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku
yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa
pujian sebagai ganjaran sosial.
Berdasarkan beberapa teknik yang dapat
dikembangkan dalam penyampaian konseling behavioristik tersebut, dalam
penelitian ini, penyampaian konseling behavioristik dilakukan dengan
menggunakan teknik pembentukan tingkah laku model. Teknik ini diharapkan dapat
memperbaiki sikap belajar siswa yang selama ini negatif menjadi lebih baik.
3. Reinforcement (Penguatan)
a. Pengertian Rinforcement
Menurut Alma (dalam Toyibin, 2010), reinforcemnet adalah penguatan yang
memberikan respon positif terhadap suatu tingkah laku tertentu dari sisiwa yang
memungkinkan tingkah laku tersebut timbul kembali.
Menurut Moh Uzer Usman (dalam Toyibin,
2010) reinforcement (penguatan)
adalah segala bentuk respon, apakah bersifat verbal ataupun non verbal, yang
merupakan modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang
bertujuan untuk memberikan informasi atau atas perbuatannya sebagai suatu
tindak dorongan ataupun koreksi.
Berdasarkan pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa reinforcement
adalah penguatan yang memberikan respon positif terhadap suatu tingkah laku,
baik bersifat verbal atau non verbal sebgai umpan balik bagi siswa atas
perbuatannya.
B. Tujuan Reinforcement (Penguatan)
Tujuan adanya reinforcement adalah :
1. Dapat
meningkatkan perhatian siswa
2. Memudahkan
proses belajar
3. Membangkitkan
dan mempertahankan motivasi
4. Mengubah
sikap suka mengganggu dan menimbulkan tingkah laku belajar yang produktif
5. Mengembangkan
dan mengatur diri sendiri dalam belajar
6. Mengarahkan
kepada cara berpikir yang baik
C. Komponen Reinforcement
Komponen
– komponen ketrampilan dalam pemberian reinforcement
atau penguatan pada siswa penting di gunakan oleh guru untuk lebih memotivasi
siswa dalam belajar terdapat tiga komponen dalam Reinforcement, yaitu :
1.) Verbal
Reinforcement
Verbal Reinforcement
berupa komentar ungkapan, pujian yang berbentuk kata-kata ataupun kalimat.
2.) Gestural
Reinforcement
Gestural Reinforcement
berupa penguatan yang ditunjukkan melalui wajah ataupun anggota badan lain.
3.) Proximity
Reinforcement
Proximity Reinforcement
seperti berjalan mendekati, berdiri di dekat, duduk dekat kelompok, berdiri
diantara siswa.
4.) Contact
Reinforcement
Tepuk bahu, punggung, tangan pada kepala, jabat
tangan, memegang rambut, menaikkan tangan siswa. Dalam hal ini harus
diperhatikan kebiasaan daerah setempat. Ada tabu memegang pipi, memegang kepala
atau sebagainya.
5.) Activity
Reinforcement
Berjalan
mandahului, memebagi bahan, memimpin permainan, membantu siswa dalam
menggunakan komputer, mendengarkan musik, radio, TV.
6.) Token
Reinforcement
Pemberian hadiah, bintang komentar tertulis
pada buku pekerjaan, nama kehormatan, perangko, mata uang gambar, kue dan
sebagainya.
D. Modus Reinforcement
Dalam
pemberian reinforcement kepada siswa,
ada beberapa modus penggunan yang perlu diperhatikan. Menurut Alma (dalam
Toyibin 2010), modus penggunaan reinforcement
meliputi :
1) Whole
group Reinforcement.
Komponen reinforcement
dapat diterapkan oleh guru pada seluruh kelas dari waktu ke waktu. Komponen
yang digunakan biasanya berupa verbal, token, gestural dan aktivitas.
2) Delayed
Reinforcement.
Komponen reinforcement
langsung dapat diberikan guru, biasanya penundaan ini dihubungkan dengan
pemberian keterangan atau isyarat lain untuk menekankan bahwa reinforcement
diberikan namun ditunda atau diberikan kemudian.
3) Partial
Reinforcement.
Digunakan untuk menghindari reinforcement yang negatif. Sebagian
menerima respons siswa, misalnya jawaban siswa setengah 2 betul, guru
tidak menyalahkan atau mengkritik jawaban tersebut, tetapi meminta siswa lain
menjawab atau memberi tanggapan. Seandainya jawaban siswa yang kedua benar,
maka dikembalikan kepada siswa yang pertama untuk mengulangi, jawaban yang
benar kemudian diberi reinforcement.
4) Personalized
Reinforcement
Sebaiknya diberikan langsung atau segera pada
siswa secara perorangan, karena kemampuannya. Ini lebih selektif daripada
apabila bersifat anonim dan tidak spesifik kepada seseorang.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian reinforcement harus disesuaikan dengan modus penggunaan reinforcement meliputi : whole group reinforcement, delayed reinforcement, partial reinforcement dan personalized reinforcement.
4. Punishment (hukuman)
a. Pengertian Punishment (hukuman)
Menurut
Suwarno (dalam El-Mozah’s, 2010), menghukum adalah memberikan atau mengadakan
nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak didik yang menjadi anak
asuh kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasakan untuk
menuju kebaikan.
Menurut
Purwanto (dalam El-Mozah’s, 2010), hukuman (punishment) ialah penderitaan yang
diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru dan
sejajarnya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan.
Menurut
Djiwantono (dalam El-Mozah’s, 2010), maksud dari hukuman adalah mencegah
timbulnya tingkah laku yang tidak baik dan mengingatkan siswa untuk tidak
melakukan apa yang tidak boleh.
Berdasarkan
pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa hukuman (punishment) adalah tindakan yang diberikan oleh pendidik terhadap
anak didik yang telah melakukan kesalahan, dengan tujuan agar anak didik tidak
akan mengulanginya lagi dan akan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat.
Hukuman
(punishment) sebagai alat pendidikan (prventif dan kuratif) yang tidak
menyenangkan bagi siswa. Namun, hukuman diberlakukan untuk meninggalkan
perbuatan atau hal-hal yang kurang menguntungkan bagi dirinya dan mengarahkan
agar senantiasa selalu bertingkah laku yang baik dan bermanfaat bagi hasil
belajarnya, perkembagannya, serta kemajuannya. Dengan pengalaman hukuman (punishment) diharapkan siswa jera dan
sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga dia akan berhati-hati dalam
bertindak.
Menurut
Abu Ahmadi, ada 4 macam hukuman yang harus atau perlu diketahui:
a. Hukuman
yang berwujud isyarat: ini diberikan cukup dengan pandangan mata, gerakan
anggota badan dan sebagainya.
b. Hukuman
dengan perkataan: ini diberikan cukup dengan memberikan teguran, peringatan,
ancaman, kata-kata pedas dan sebagainya.
c. Hukuman
dengan perbuatan: ini diberikan cukup dengan memberikan tugas-tugas terhadap si
pelanggar, misalnya: mengerjakan pekerjaan di rumah yang harus dikerjakan
dengan betul, dan jumlahnya tidak sedikit, termasuk juga memindah tempat,
keluar dari kelas, dikeluarkan dari sekolah dan lain-lain.
d. Hukuman
badan, ini dengan cara menyakiti badan anak-anak dengan alat maupun tidak.
Misalnya : memukul, mencubit, daun telinga dan lain-lain.
Setiap pelanggaran akan menerima konsekuensi
formal/informal berdasarkan system penanganan siswa yang dibuat oleh sekolah,
berupa :
a. Pemanggilan
siswa untuk diajak berdiskusi secara langsung oleh guru yang berwenang/orang
tua/wali untuk menyelesaikan permasalahan siswa. Sekolah pun berhak untuk
mendatangkan staf ahli yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.
b. Peringatan
tertulis kepada siswa dan oleh siswa selama jam sekolah.
c. Pemberian
tugas kelas yang dilakukan oleh siswa selama jam sekolah atau dipindahkan ke
kelas lain untuk mengerjakan tugas tertentu di bawah pengawasan petugas
sekolah.
d. Siswa
mendapatkan hukuman dari pihak sekolah sedikitnya satu jam.
C. Penggunaan Konseling Kelompok dengan Pendekatan Behavioral untuk Merubah Perilaku Agresif Anak Taman Kanak – Kanak
Perilaku agresif anak taman kanak-kanak
dapat diidentifikasi dalam beberapa bentuk, diantaranya adalah sering memukul
teman, berkata kotor dan berteriak, sering berbohong, serta berkelahi. Beberapa
perilaku tersebut tidak terlepas dari karakterristik anak usia taman
kanak-kanak itu sendiri. Tetapi, jika tidak dikendalikan dan dikelola dengan
dengan benar, perilaku-perilaku agresif tersebut akan merugikan anak itu
sendiri maupun orang lain (lingkunganya). Berkaitan dengan beberapa bentuk
perilaku agresif anak taman kanak-kanak, khususnya di TK Negeri Pembina
Kawedanan Kabupaten Magetan, perlu dilakukan upaya untuk merubah perilaku
agresif anak tersebut. Salah satunya adalah melalui Konseling Kelompok dengan
Pendekatan Behavioral.
Pendekatan
konseling behavioral merupakan suatu
pendekatan konseling yang dilakukan dengan melalui pengubah perilaku yang
menekankan pada aspek fisiologis, perilaku maupun kognitif. Konseling behavioral mengetengahkan proses belajar
pada proses konselingnya. Pada pendekatan ini, anak dibimbing dan diarahkan
agar perilaku agresifnya dapat ditekan dan bahkan dirubah menjadi
perilaku-perilaku produktif. Misalnya, jika anak suka memukul temanya, maka
anak dapat diarahkan untuk mengikuti beberapa kegiatan yang melibatkan
aktivitas fisik, seperti berlatih berkebun dan bermain bola. Melalui konseling behavioral perilaku agresif anak dapat
dikendalikan dengan dimanfaatkan untuk mengendalikan perilaku agresifnya,
sehingga agresifitas yang dimiliki anak akan lebih mengarahkan pada hal-hal
positif.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli
di atas dapat disimpulkan pengertian konseling kelompok dengan pendekatan behavioristik merupakan salah satu layar
konseling yang diselenggarakan dalam suasana kelompok, adanya pengungkapan dan
pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-sebab timbulnya masalah. Upaya
pemecahan masalah kegiatan dan tindak lanjut untuk mengubah individu atau
kelompok yang mengalami penyimpangan perilaku (maladaptif) kepada perilaku yang
adaptif.