1.
Strategi
Pengembangkan Moral -Agama pada Anak Program PAUD
Mendidik
anak pada masa usia dini tidak sama dengan orang dewasa, anak usia dini
memiliki keunikan dan karakter yang berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena
itu diperlukan suatu strategi yang tepat dalam proses belajar-mengaiar. Dalam
kaitan dengan pengembangan moral-agama pada anak usia dini, strategi atau
pendekatan individu (individual approach)
penting dilakukan sebab setiap anak memiliki karakter dan keunikan yang
berbeda-beda. Misalkan dari sisi karakter, ada anak yang pendiam atau tidak
suka bergaul, disisi lain ada juga anak yang suka bergaul dan mudah adaptasi
dengan teman-temannya. Realitas semacam ini menuntut para guru untuk melakukan
pendekatan individu kepada anak agar dapat memahami apa yang harus dilakukan
oleh guru dengan tetap nnemperhatikan keunikan anak .
Sebenarnya
strategi pengembangan moral-agama pada anak usia dini sangat sederhana. Hal ini
karena pada usia dini, anak hanya membutuhkan sesuatu yang bersifat konkrit dan
berkaitan dengan kehidupan riil mereka sehari-hari, misalkan hanya dengan
bercakap-cakap saja mengenai sesuatu yang boleh diucapkan atau tidak boleh
diucapkan anak sudah bisa menangkap (misalnya adalah mana bahasa yang sopan dan
mana yang tidak). Atau bahkan dengan hanya memberikan contoh perbuatan, misal
mencium tangan kedua orang tua atau guru, anak akan dengan mudah menirukannya. HaI
ini menunjukkan bahwa belajar untuk melakukan atau mempraktikkan sesuatu (learning to do) secara langsung
merupakan strategi yang tepat untuk diterapkan.
Di
samping hal itu, secara umum pengembangan moral-agama pada anak usia dini juga
terkait dengan pengenalan dan pemahaman tentang keberadaan Tuhan. Jadi sebagai
guru pada program PAUD hendaknya mampu mentransfer hal ini ke dalam diri anak.
Misalnya guru mengenalkan Tuhan melalui makhluk-makhluk ciptaan-Nya, seperti
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya. Pertanyaan sederhana
dapat diajukan kepada anak, misal: siapa yang menciptakan manusia ? Setelah anak
menjawab, mungkin ada yang jawabannya benar dan mungkin juga ada yang salah,
guru berusaha menggiring jawaban anak pada upaya memperkenalkan sang
penciptanya (Allah) dengan menunjukkan keistimewaan makhluk ciptaannya. Misalkan
manusia diberi akal pikiran yang tidak dimiliki makhluk-makhluk lainnya.
Matahari bisa memberikan sinar ke bumi untuk kehidupan manusia, bulan dan
bintang bisa memberikan cahaya penerang di malam hari, dan lain sebagainya.
Menurut
Hidayat (2007), di antara strategi pengembangan moral-agama pada anak usia dini
secara sederhana adalah sebagai berikut:
- Anak diajak untuk melihat gambar dan bercerita tentang gambar yang dilihatnya dengan bimbingan guru, misalkan untuk melatih anak hidup tertib dengan bimbingan guru (misalkan untuk melatih anak hidup tertib dan teratur dalam makan dan minum, bangun tidur, bermain dan lain-lain, anak bisa diajak komunikasi melalui gambar yang ditunjukkan).
- Membacakan pertanyaan sederhana dan mendorong anak menjawab berdasarkan gambar yang dilihatnya, misalkan gambar seseorang yang sedang beribadah, berjabat tangan, dan lain-lain.
- Memperagakan sesuatu yang diajarkan di hadapan anak, kemudian anak diajak langsung menirukannya.
Sementara itu terkait
dengan sifat pemahaman anak usia dini terhadap nilai-nilai keagamaan (dan
moral) pada saat proses belajar mengaiar menurut ]ohn Eckol (2005) dalam
Hidayat di antaranya adalah sebagai berikut:
- Unreflective, yaitu pemahaman dan kemampuan anak dalam mempelajari nilai-nilai agama sering menampilkan suatu hal yang tidak serius. Mereka melakukan kegiatan ibadah pun dengan sikap dan sifat dasar yang kekanak-kanakan, tidak mampu memahami dan menghayati apa yang sedang dilakukannya. Artinya salah satu sifat anak dalam memahami pengetahuan ajaran agama sering dengan bahasa guyonan, main-main, dan asal mengikuti apapun yang diperintahkan kepadanya. Contoh ketika anak diminta oleh guru untuk mengerjakan ibadah bersama dengan tertib maka sangat manusiawi jika ada di antara mereka yang mengerjakannya dengan bercanda, main-main, dan kurang serius. Ketika anak belajar mengucapkan hafalan doa, kita juga dapat mendengarkan kemampuan vokalnya yang kurang maksimal, demikian pula dalam menirukan gerakan (misal gerakan dalam shalat, berdoa, dan lain-lain). Hal itu semua seyogyanya jangan dijadikan sebagai sebuah masalah ketidakberhasilan belajar, namun dijadikan sebagai hal yang objektif bahwa itulah hakikat anak dengan prestasi dan keadaan yang sesungguhnya, yang harus kita hargai dengan baik. Namun terkadang banyak kita temui di lapangan, para guru dan orang tua kurang menyadari hal tersebut karena masih banyak di antara mereka yang memaksakan kehendaknya dengan menggunakan pendekatan yang kurang bijaksana seperti memaksa anaknya untuk mengikuti/ mencontoh dengan tepat, persis apa yang diajarkan oleh guru dan orang tua. Sering dijumpai betapapun ketika anak dipaksa namun memang anak belum mampu menirukan, kemudian anak dimarahi maka hal tersebut dapat berdampak tidak baik bagi anak, malah bisa membuat anak menangis bahkan pesimis.
Pendekaatan semacam itu
memang bertujuan untuk membuat, anak dapat belajar dengan maksimal, namun
sering dilupakan bahwa anak bukan orang dewasa. Jadi sangatlah keliru jika guru
atau orang tua menginginkan dan mengharuskan anak memiliki kemampuan atau
kompetensi Belajar dengan kriteria dan parameter orang dewasa. Mereka adalah
anak kecil yang belum matang dalam beberapa hal. Itulah yang patut direnungkan
agar para guru dan orang tua tidak mengulangi kekeliruan dan memaksakan kemauan
dan kehendaknya kepada anak dengan tidak memperhatikan kemampuan dan kebutuhan
anak itu sendiri.
- Egocentris, sering dijumpai bahwa anak lebih mementingkan kemauannya sendiri, tidak peduli dengan urusan orang lain. Demikian pula dalam mempelajari nilai-nilai agama anak usia dini terkadang belum mampu bersikap dan bertindak konsisten. Misalkan suatu ketika anak terlihat sangat rajin dan mau mengerjakan kegiatan ritual ibadah seperti kalau di sekolah belajar mengucapkan doa bersama, kalau di rumah seperti mengaji, pergi ke tempat ibadah, dan lain-lain, namun pada saat yang lain rnereka berperilaku sebaliknya. Betapapun guru atau orang tua berulang kali mengingatkan dan menyuruh anak untuk melakukan kegiatan keagamaan, Namun jika anak merasa malas dan lebih asyik bermain maka semua perintah dan anjuran tadi tidak dipedulikannya. Memperhatikan sifat egosentris yang demikian maka sebagai guru atau orang tua sangatlah tepat apabila menganggap bahwa sifat tersebut merupakan hal yang wajar karena memang kondisi psikologis mereka yang masih labil dan belum matang. Para guru dan orang tua harus memaklumi hal itu, namun tidak berarti membiarkan tanpa upaya pada arah yang positif. Walaupun demikian guru atau orang tua tetap tidak boleh memaksakan kehendak sesuai dengan keinginannya sebab mereka boleh jadi pada kesempatan yang lain akan berubah sikapnya. Itulah labilitas psikologis anak yang perlu dipahami oleh guru dan orang tua.
- Misunderstand, yaitu anak akan sering mengalami salah paham/. Sebagai contoh ketika anak mendengar bahwa Allah itu Maha Besar, maka yang terbesit dalam pikiran anak adalah Allah besarnya seperti raksasa, dan lain-lain.
- Imitative, yaitu anak banyak belajar dari apa yang mereka lihat secara langsung. Mereka banyak meniru dari apa yang pernah dilihatrya sebagai sebuah pengalaman belajar. Memperhatikan realitas semacam itu maka guru dan orang tua harus siap ditiru anak. Oleh karena itu guru dan orang tua perlu menunjukkan contoh atau keteladanan yang baik dalam setiap ucapan dan perbuatan.
Adapun faktor yang
mempengaruhi nilai-nilai keagamaan tertanam dengan baik atau tidak pada diri
anak adalah faktor hereditas/pembawaan (internal) dan faktor eksternal
(lingkungan). Faktor bawaan merupakan potensi yang berasal dari orang tua.
Dalam teori nativisme dikatakan bahwa apa yang ada pada diri orang tua untuk
selanjutnya akan diwarisi oleh anak-anaknya, baik berupa kemampuan intelektual
maupun karakter. Oleh karena dalam teori agama (Islam) kalau menginginkan anak
menjadi baik maka orang tua atau bahkan seiak muda (ketika menjadi calon bapak-ibu)
harus menjadi lebih baik dulu, sebab kepribadian yang baik seperti itu juga
akan mempengaruhi karakter generasi berikutnya. Demikian pula sebaliknya kepribadian
orang tua tidak baik maka sengat dimungkinkan juga terwariskan kepada
anak-anaknya karakter tidak baik pula walaupun tidak bersifat mutlak
pengaruhnya.
Sementara itu faktor
lingkungan dalam realitasnya juga dapat berpengaruh dalam mempengaruhi
tumbuh-kembangnya nilai-nilai moral dan agama pada diri anak. Manakala
lingkungan sosial anak itu kondusif, misalnya lingkungan agamis, orang-orang
baik, maka anak juga akan mudah terpengaruh dengan lingkungan positif yang
demikian, akan tetapi ketika lingkungan sosial anak itu sebaliknya maka yang
terjadi adalah juga sebaliknya, yakni anak, kemungkinan memiliki kecenderungan
negatif walaupun tidak bersifat mutlak pengaruhnya. Memang dalam teori
empirisme faktor lingkungan dikatakan juga sebagai faktor yang sangat
mempengaruhi anak itu seperti apa.
2. Desain Kegiatan Pembelajaran dan Materi
Pengembangan Moral-Agama yang Sesuai dengan
Program PAUD
Sebelum mengulas desain
kegiatan pembelajaran dan pengernbangan moral-agama pada anak di sini terlebih
dahulu perlu dikemukakan sekilas tentang masa anak-anak. Menurut Reni Akbar dkk,
masa prasekolah merupakan masa-masa
bahagia dan amat memuaskan dari seluruh kehidupan
anak. Untuk itulah kita perlu menjaga hal tersebut sebagaimana adanya.
Janganlah memaksakan sesuatu karena diri kita sendiri, baik mengaharapkan
secara banyak dan segera maupun mencoba melakukan hal-hal yang memang mereka
belum siap…Negara-negara Eropa dan Amerika meyakini bahwa tidak perlu untuk
bersikap terburu-buru untuk mengajari anak membaca sampai anak berusia tujuh
tahun. Penelitian Sue Moskowitz terhadap sejumlah anak yang diajar membaca pada
waktu dini menunjukkan bahwa anak-anak tersebut tidak mampu mempertahankan kelebihan-kelebihan
yang mereka miliki dari teman sekelasnya yang tidak dapat membaca sebelum cukup
umur. Moskowitz juga mempertanyakan anak-anak yang didorong orang tuanya belajar
membaca pada usia dini…Dengan mengajari anak membaca pada usia tujuh tahun,
anak-anak Skandinavia, baik perempuan tidak
memiliki masalah dalam pelajaran rnembaca (Akbar Hawadi,2006: 5).
Dalam kaitan dengan perkembangan
moral anak menurut Charles Wenar dalam Akbar dikatakan bahwa perkembangan moral
anak berjalan lamban dan bergerak sesuai dengan meningkatnya kematangan pada diri
anak untuk dapat memahami nilai-nilai keberhasilan, kejujuran, dan tanggungjawab.
Menurut hemat penulis, pengenalan mengenai sesuatu yang baik dan yang tidak
baik, seperti dalam bermain anak juga sudah harus mulai diajarkan, misalnya
ketika dalam bermain anak berebut mainan yang bukan rniliknya maka seyogyanya
guru atau orang tua segera merespons dengan bahasa anak. Ini merupakan
bagian dari peletakan dasar-dasar sikap dan kepribadian yang terpuji pada diri
anak.
Mengacu pada deskripsi tersebut
maka kegiatan pembelajaran dan pemberian materi moral-agarna perlu dirancang
secara sederhana sesuai dengan tingkat kemampuan anak, seperti kegiatan bermain
sambil belajar. Menurut EIis (2005)
dalam Hidayat, ruang lingkup materi moral-agama pada program PAUD meliputi (a)
peletakan dasar-dasar keimanan, (b) peletakan dasar-dasar kepribadian/budi
pekerti yang terpuji, dan (c) membiasakan beribadah sesuai dengan kemampuan
anak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala rutinitas dalam kehidupan
sehari-hari anak hendaknya selalu diwarrnai dengan nuansa keagamaan agar mereka
kelak kemudian selalu ingat kepada -Tuhannya.
Selanjutnya, dalam merancang
kegiatan pengembangan moral-agama pada anak usia dini perlu dilakukan secara
sirnultan (terus-menerus) dan terpadu, baik terpadu dalam hal kerjasama antara
orang tua dan guru maupun terpadu dalam dalam hal materi pemberajarannya,
seperti memadukan antara yang teoritis dan praktis. Mengapa demikian ? karena
pada masa usia dini, anak belum mampu secara langsung memahami
hubungan-hubungan antara yang teoritis dan praktis. Pada masa usia dini, anak
masih banyak didominasi oleh pengetahuan yang masih bersifat abstrak. Oleh
karena itu keterpaduan ini perlu dirancang oleh pendidik agar tujuan yang
diharapkan dapat tercapai secara maksimal dan efektif.
Keterpaduan pembelajaran
(integrated learning) lainnya juga bisa
dilakukan dengan cara mengaitkan kehidupan alam sekitar, seperti lingkungan alam dan lingkungan sosial yang sering dialami
anak-anak, kemudian nilai-nilai agama tersebut dimasukkan sebagai bagian dari
lingkungan tersebut. Misalkan bagaimana seorang anak harus merawat lingkungan alam,
seperti tumbuhan, hewan, kebersihan, dan lain sebagainya. Demikian pula dalam
lingkungan sosial, misalkan bagaimana seorang anak harus berbuat baik kepada
sesama teman ketika ada temannya yang membutuhkan seperti pinjam pensil,
penghapus, dan lain sebagainya. Contoh-contoh empirik tersebut dimasuki dengan
ajaran-ajaran moral-agama dengan menekankan bahwa hal-hal yang perlu dilakukan adalah
berbuat baik kepada siapa saja sebab ajaran agama mengajarkan kepada kita demikian,
dan bagi siapa saja yang menjalankan secara senang, Allah akan mengasih
sayangi, dan pada suatu saat Allah juga akan memberikan sesuatu yang lebih baik
daripada yang kita lakukan sekarang ini.
Dalam hal pengembangan moral-agama
dalam Garis-garis Besar Program Kegiatan Belajar (GBPKB) di PAUD diistilahkan
dengan materi program pembentukan perilaku anak melalui pembiasaan yang
terwuiud dalam kegiatan sehari-hari. Adapun tujuan dari program pembentukan perilaku
adalah untuk mempersiapkan anak sedini mungkin dalam mengembangkan sikap dan
perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai moral pancasila dan agama. Pokok-pokok
dan ruang lingkup materi tersebut meliputi:
- Berdoa sebelum dan sesudah memulai kegiatan
- Mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain
- Tolong menolong sesama teman
- Rapi dalam bertindak dan berpakaian
- Berlatih untuk selalu tertib dan patuh pada peraturan serta bersedia menerima tugas, menyelesaikan tugas, dan memusatkan perhatian dalam jangka waktu tertentu
- Memiliki sikap tengang rasa terhadap keadaan orang lain
- Berani dan mernpunyai rasa ingin tahu yang besar
- Merasa puas atas prestasi yang dicapai
- Bertanggun gjawab terhadap tugas yang diberikan
- Bergotong royong sesama teman
- Mencintai tanah air
- Mengurus diri sendiri, antara lain meliputi membersihkan diri sendiri, berpakaian sendiri, makan sendiri, dan memelihara milik sendiri
- Menjaga kebersihan lingkungan, termasuk membantu membersihkan dan membuang sampah pada tempatnya.
- Menyimpan mainan setelah digunakan
- Mengendalikan emosi, misalnya saat berpisah dengan ibu tanpa menangis, sabar menunggu giliran, berhenti bermain pada waktunya tidak cengeng, dapat membedakan milik sendiri dan orang lain, menunjukkan reaksi yang wajar karena marah, senang, sedih, takut, dan cemas.
- Sopan santun meliputi terbiasa mengucapkan terima kasih dengan baik atau meminta tolong dengan baik
- Menjaga keamanan diri, termasuk menghindar dari obat-obat berbahaya dan menghindar dari benda-benda yang berbahaya pula (Hidayat mengutip GBPKB 1995).
Sedangkan kompetensi
dan hasil berajar yang ingin dicapai pada aspek pegembangan moral-agama mengacu
pada menu pembelajaran pada Pendidikan Anak usia Dini adalah kemampuan melakukan
ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan Allah dan mencintai sesame(Hidayat
2007). Berikut ruang lingkup dan rinciannya berdasarkan kelompok mulai 3-6 tahun:
a. Menyayikan lagu keagamaan
b. Berdoa sebelum dan sesudah melakukan
kegiatan dengan sikap berdoa
c. Dapat melakukan gerakan beribadah
d. Membedakan ciptaan Tuhan dengan
buatan manusia
e.
Menyayangi orang tua, orang di sekeliling, guru, teman, pembantu, binatang, dan
tanaman
f.
Mengenal/memahami sifat-sifat Tuhan, misalnya Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan
lain sebaginaya
g.
Merasakan/ditunjukkan rasa sayang dan cinta kasih melalui belaian atau rangkulan
h. Selalu mengucapkan terima kasih setelah
menerima sesuatu
i. Mengucapkan salam
j. Mengucapkan kata-kata santun,
misalnya maaf, tolong, dan lain-lain
k.Menghargai teman dan tidak memaksakan
kehendak
l. Membantu pekerjaan ringan orang
dewasa
Sementara itu terkait
dengan karakter atau sifat materi pengembangan moral dan nilai-nilai agama pada
anak usia dini, menurut Hidayat guru harus dapat memilih materi yang sesuai
dengan karakter anak usia dini, di antaranya bersifat terapan dan berkaitan dengan kegiatan rutin anak-anak dalam
kehidupan sehari-hari, (b) enjoyable,
yaitu materi pembelajaran diupayakan bisa membuat anak senang, menikmati, dan mengikuti
kegiatan dengan antusias, dan (c) mudah ditiru, yaitu materi yang disampaikan
dapat dipraktikkan oleh anak dengan mudah.