Kamis, 21 Januari 2016

BIMBINGAN KONSELING DENGAN PENDEKATAN Behavioral



BIMBINGAN KONSELING DENGAN PENDEKATAN Behavioral

1.    Pengertian Konseling Behavioral
Konseling Behavioral adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar dengan menyertakan penerapan sistematis prinsip-prinsip belajar pada perubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif.
Menurut Corey (2003 : 196), pendekatan ini banyak memberikan sumbangan dalam bidang klinis ataupun pendidikan. Dengan landasan teori belajar modifikasi pelaku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang berusaha dengan pengubahan tingkah laku.
Krumboltz dan Thoresen (dalam Vitalis DS, 2010 : 38) mengemukakan bahwa konseling behavioristik adalah suatu proses belajar atau belajar kembali untuk belajar perilaku baru dalam mengatasi permasalahan sehingga menghasilkan perubahan nyata, dapat disaksikan secara  jelas.
Menurut Hackmann (dalam Latipun 2005 : 129), konseling behavioristik atau terapi tingkah laku adalah pengubahan perilaku yang menekankan pada aspek fisiologis, perilaku maupun kognitif. Menurut Rachman dan Wolpe (dalam Latipun 2005: 129), konseling behavioristik dapat menangani masalah perilaku mulai dari kegagalan individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga mengatasi masalah gejala neurosis.
Selain itu, penegasan yang terpenting dari bebavioristik terletak pada perhatian yang hanya tertuju pada sesuatu yang dapat diamati secara ilmiah, yang memungkinkan terjadinya pengukuran. Ukuran yang dimaksud terletak pada suatu respon (perilaku) dan akibat yang mengikuti respon.
Bertolak dari berbagai pendapat para ahli diatas, dapat diuraikan bahwa terapi tingkah laku atau behavior dalam konseling behavioristik merupakan salah satu teknik terapi yang digunakan dalam membantu mengubah individu atau kelompok yang mengalami penyimpangan perilaku (maladaptif) kepada perilaku yang adaptif.


2.    Pemahaman tentang Konseling Behavioristik
Pendekatan behavioristik merupakan sebuah pendekatan dalam konseling yang secara umum masih dipergunakan oleh para konselor. Pendekatan ini berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serangkaian hasil belajar. Apa dilakukan oleh seseorang merupakan hasil produksi dari lingkungan yang dominan seperti orang tua, sekolah , masyarakat atau orang lain yang berpengaruh (significant other). Manusia dianggap sebagai makhluk yang tidak mempunyai daya apa-apa (determinitif). Manusia identik dengan robot, yang tidak memiliki inisiatif dan hanya bisa melakukan sesuatu karena merespon sebuah perintah atau aturan.
Walaupun teori ini sudah banyak ditentang oleh aliran-aliran baru dalam konseling, tetapi teori ini tetap eksis dengan melakukan beberapa modifikasi. Skinner (dalam Ninik Sriasih, 2012) menyatakan bahwa pandangan teori behavioristik terhadap manusia adalah :
a.    Perilaku organisme bukan merupakan suatu fenomenal mental, lebih ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian,
b.    Perkembangan kepribadian bersifat deterministik,
c.    Perbedaan individu karena adanya perbedaan pengalaman,
d.    Dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia, dan
e.    Walaupun perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar. Uraian tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah sosok yang sangat determistik.
3.    Terapi Perilaku dalam Konseling Behavoristik
Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai pada (a) pemusatan perhatian pada bentuk perilaku tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil terapi menurut (Corey, 2007:16).
Konseling behavioristik dapat mengatasi masalah – masalah klien yang mengalami fobia, cemas, gangguan seksual, penggunaan zat adiktif, obsesi, despresi, gangguan kepribadian, serta sejumlah gangguan pada anak (Hackmann dalam Dani Miftah, dkk., 2010).  Menurut Krumboltz dan Thoresen (dalam Dani Miftah, dkk., 2010), konseling behavior merupakan suatu proses membantu orang untuk memecahkan masalah interpersonal, emosional dan keputusan tertentu. 
Urutan pemilihan dan penetapan tujuan dalam konseling yang digambarkan oleh Cormier and Cormier (Corey dalam Dani Miftah., 2010 ) sebagai salah satu bentuk kerja sama antara konselor dan klien sebagai berikut :
a.    Konselor menjelaskan maksud dan tujuan. 
b.    Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling. 
c.    Klien dan konselor menetapkan tujuan yang ditetapkan apakah merupakan perubahan yang dimiliki oleh klien. 
d.    Bersama-sama menjajaki apakah tujuan itu realistik. 
e.    Mendiskusikan kemungkinan manfaat tujuan. 
f.     Mendiskusikan kemungkinan kerugian tujuan. 
g.    Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien, konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut : untuk yang spesifik, yang sesuai dengan masalah, (d) penaksiran obyektif atas hasil-hasil terapi (Gerald Corey, 2007 : 196). 
4.    Konsep Dasar Konseling Behavioristik   
Manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikonrol oleh faktor- faktor dari luar.  Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian (Koeswara, 2007).
Manusia bukanlah hasil dari golongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. 
Karateristik konseling behavioristik adalah: (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling (Koeswara, 2007). 
5.    Asumsi Tingkah Laku Bermasalah dalam Konseling Behavioristik
     Tingkah laku bermasalah adalah :
a.    Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan- kebiasaan  negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntunan lingkungan. 
b.    Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah. 
c.    Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya.  Tingkah laku maladatif terjadi juga karena kesalahpahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat. 
d.    Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar (Sugiharto, 2009). 
6.    Tujuan Konseling Behavioristik
Chamblers dan goldstein (dalam Gililand, 1989) menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai pribadi yang sehat atau tidak sehat. Hal ini disebabkan para tokoh aliran ini mengakui bahwa perilaku maladaptif adalah seperti perilaku adaptif, yaitu dipelajari.  Sehingga, tujuan konseling dalam pendekatan ini adalah mengajak konseli untuk belajar perilaku baru, yaitu perilaku yang dikehendaki oleh lingkungan yang dominan. 
Menurut Krumboltz (dalam Latipun, 2006:138) tujuan konseling behavioristik adalah mengubah perilaku salah yang tampak sangat berguna dibandingkan tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam makna yang sangat luas, diharapkan dapat menghasilkan perubahan-perubahan perilaku yang jelas. Tujuan konseling tersebut meliputi :
a.    Tujuan konseling harus dibuat secara berbeda untuk setiap klien.
b.    Tujuan konseling untuk setiap klien akan dapat dipadukan dengan nilai-nilai konselor, meskipun tidak perlu identik.
c.    Tujuan konseling disusun secara bertingkat yang dirumuskan dengan perilaku yang dapat diamati dan dicapai klien.
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/ merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling. 
7.    Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioristik
Menurut Akhmad Sudrajat (dalam Barnawi, 2011)  prinsip kerja teknik konseling behavioristik meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.    Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan.  Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui timngkah laku klien. 
b.    Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan. 
c.    Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan. 
d.    Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung). 
e.    Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial. 
8.    Penerapan Teknik Konseling Behavioristik 
Menurut Goldenberg (dalam Latipun, 2006:141) teknik-teknik konseling behavioristik, dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.    Latihan Asertif
Teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar.  Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon positif lainnya.  Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini. 
b.    Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi Sistematis merupakan teknik konseling behavioristik yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks.  Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah lau yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.  Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. 
c.    Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk.  Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. 
Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
d.    Pembentukan Tingkah Laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
Berdasarkan beberapa teknik yang dapat dikembangkan dalam penyampaian konseling behavioristik tersebut, dalam penelitian ini, penyampaian konseling behavioristik dilakukan dengan menggunakan teknik pembentukan tingkah laku model. Teknik ini diharapkan dapat memperbaiki sikap belajar siswa yang selama ini negatif menjadi lebih baik.


3.    Reinforcement (Penguatan)
a.    Pengertian Rinforcement
Menurut Alma (dalam Toyibin, 2010), reinforcemnet adalah penguatan yang memberikan respon positif terhadap suatu tingkah laku tertentu dari sisiwa yang memungkinkan tingkah laku tersebut timbul kembali.

Menurut Moh Uzer Usman (dalam Toyibin, 2010) reinforcement (penguatan) adalah segala bentuk respon, apakah bersifat verbal ataupun non verbal, yang merupakan modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang bertujuan untuk memberikan informasi atau atas perbuatannya sebagai suatu tindak dorongan ataupun koreksi.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa reinforcement adalah penguatan yang memberikan respon positif terhadap suatu tingkah laku, baik bersifat verbal atau non verbal sebgai umpan balik bagi siswa atas perbuatannya.
B.   Tujuan Reinforcement (Penguatan)
Tujuan adanya reinforcement adalah :
1.    Dapat meningkatkan perhatian siswa
2.    Memudahkan proses belajar
3.    Membangkitkan dan mempertahankan motivasi
4.    Mengubah sikap suka mengganggu dan menimbulkan tingkah laku belajar yang produktif
5.    Mengembangkan dan mengatur diri sendiri dalam belajar
6.    Mengarahkan kepada cara berpikir  yang baik
C.   Komponen Reinforcement
   Komponen – komponen ketrampilan dalam pemberian reinforcement atau penguatan pada siswa penting di gunakan oleh guru untuk lebih memotivasi siswa dalam belajar terdapat tiga komponen dalam Reinforcement, yaitu :
1.)   Verbal Reinforcement
Verbal Reinforcement berupa komentar ungkapan, pujian yang berbentuk kata-kata ataupun kalimat.
2.)   Gestural Reinforcement
Gestural Reinforcement berupa penguatan yang ditunjukkan melalui wajah ataupun anggota badan lain.
3.)   Proximity Reinforcement
Proximity Reinforcement seperti berjalan mendekati, berdiri di dekat, duduk dekat kelompok, berdiri diantara siswa.
4.)   Contact Reinforcement
Tepuk bahu, punggung, tangan pada kepala, jabat tangan, memegang rambut, menaikkan tangan siswa. Dalam hal ini harus diperhatikan kebiasaan daerah setempat. Ada tabu memegang pipi, memegang kepala atau sebagainya.
5.)   Activity Reinforcement
Berjalan  mandahului, memebagi bahan, memimpin permainan, membantu siswa dalam menggunakan komputer, mendengarkan musik, radio, TV.
6.)   Token Reinforcement
Pemberian hadiah, bintang komentar tertulis pada buku pekerjaan, nama kehormatan, perangko, mata uang gambar, kue dan sebagainya.
D.   Modus Reinforcement
   Dalam pemberian reinforcement kepada siswa, ada beberapa modus penggunan yang perlu diperhatikan. Menurut Alma (dalam Toyibin 2010), modus penggunaan reinforcement meliputi :
1)    Whole group Reinforcement.
Komponen reinforcement dapat diterapkan oleh guru pada seluruh kelas dari waktu ke waktu. Komponen yang digunakan biasanya berupa verbal, token, gestural dan aktivitas.
2)    Delayed Reinforcement.
Komponen reinforcement langsung dapat diberikan guru, biasanya penundaan ini dihubungkan dengan pemberian keterangan atau isyarat lain untuk menekankan bahwa reinforcement diberikan namun ditunda atau diberikan kemudian.
3)    Partial Reinforcement.
Digunakan untuk menghindari reinforcement yang negatif. Sebagian menerima respons siswa, misalnya jawaban siswa setengah 2 betul, guru tidak menyalahkan atau mengkritik jawaban tersebut, tetapi meminta siswa lain menjawab atau memberi tanggapan. Seandainya jawaban siswa yang kedua benar, maka dikembalikan kepada siswa yang pertama untuk mengulangi, jawaban yang benar kemudian diberi reinforcement.
4)    Personalized Reinforcement
Sebaiknya diberikan langsung atau segera pada siswa secara perorangan, karena kemampuannya. Ini lebih selektif daripada apabila bersifat anonim dan tidak spesifik kepada seseorang.
   Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian reinforcement harus disesuaikan dengan modus penggunaan reinforcement meliputi : whole group reinforcement, delayed reinforcement, partial reinforcement dan personalized reinforcement.
4.    Punishment (hukuman)
a.    Pengertian Punishment (hukuman)
   Menurut Suwarno (dalam El-Mozah’s, 2010), menghukum adalah memberikan atau mengadakan nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak didik yang menjadi anak asuh kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasakan untuk menuju kebaikan.
   Menurut Purwanto (dalam El-Mozah’s, 2010), hukuman (punishment) ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru dan sejajarnya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan.
   Menurut Djiwantono (dalam El-Mozah’s, 2010), maksud dari hukuman adalah mencegah timbulnya tingkah laku yang tidak baik dan mengingatkan siswa untuk tidak melakukan apa yang tidak boleh.

   Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa hukuman (punishment) adalah tindakan yang diberikan oleh pendidik terhadap anak didik yang telah melakukan kesalahan, dengan tujuan agar anak didik tidak akan mengulanginya lagi dan akan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat.
   Hukuman (punishment) sebagai alat pendidikan (prventif dan kuratif) yang tidak menyenangkan bagi siswa. Namun, hukuman diberlakukan untuk meninggalkan perbuatan atau hal-hal yang kurang menguntungkan bagi dirinya dan mengarahkan agar senantiasa selalu bertingkah laku yang baik dan bermanfaat bagi hasil belajarnya, perkembagannya, serta kemajuannya. Dengan pengalaman hukuman (punishment) diharapkan siswa jera dan sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga dia akan berhati-hati dalam bertindak.
   Menurut Abu Ahmadi, ada 4 macam hukuman yang harus atau perlu diketahui:
a.    Hukuman yang berwujud isyarat: ini diberikan cukup dengan pandangan mata, gerakan anggota badan dan sebagainya.
b.    Hukuman dengan perkataan: ini diberikan cukup dengan memberikan teguran, peringatan, ancaman, kata-kata pedas dan sebagainya.
c.    Hukuman dengan perbuatan: ini diberikan cukup dengan memberikan tugas-tugas terhadap si pelanggar, misalnya: mengerjakan pekerjaan di rumah yang harus dikerjakan dengan betul, dan jumlahnya tidak sedikit, termasuk juga memindah tempat, keluar dari kelas, dikeluarkan dari sekolah dan lain-lain.
d.    Hukuman badan, ini dengan cara menyakiti badan anak-anak dengan alat maupun tidak. Misalnya : memukul, mencubit, daun telinga dan lain-lain.
Setiap pelanggaran akan menerima konsekuensi formal/informal berdasarkan system penanganan siswa yang dibuat oleh sekolah, berupa :
a.    Pemanggilan siswa untuk diajak berdiskusi secara langsung oleh guru yang berwenang/orang tua/wali untuk menyelesaikan permasalahan siswa. Sekolah pun berhak untuk mendatangkan staf ahli yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.
b.    Peringatan tertulis kepada siswa dan oleh siswa selama jam sekolah.
c.    Pemberian tugas kelas yang dilakukan oleh siswa selama jam sekolah atau dipindahkan ke kelas lain untuk mengerjakan tugas tertentu di bawah pengawasan petugas sekolah.
d.    Siswa mendapatkan hukuman dari pihak sekolah sedikitnya satu jam.

C.   Penggunaan Konseling Kelompok dengan Pendekatan Behavioral untuk Merubah Perilaku Agresif Anak Taman Kanak – Kanak

Perilaku agresif anak taman kanak-kanak dapat diidentifikasi dalam beberapa bentuk, diantaranya adalah sering memukul teman, berkata kotor dan berteriak, sering berbohong, serta berkelahi. Beberapa perilaku tersebut tidak terlepas dari karakterristik anak usia taman kanak-kanak itu sendiri. Tetapi, jika tidak dikendalikan dan dikelola dengan dengan benar, perilaku-perilaku agresif tersebut akan merugikan anak itu sendiri maupun orang lain (lingkunganya). Berkaitan dengan beberapa bentuk perilaku agresif anak taman kanak-kanak, khususnya di TK Negeri Pembina Kawedanan Kabupaten Magetan, perlu dilakukan upaya untuk merubah perilaku agresif anak tersebut. Salah satunya adalah melalui Konseling Kelompok dengan Pendekatan Behavioral.
     Pendekatan konseling behavioral merupakan suatu pendekatan konseling yang dilakukan dengan melalui pengubah perilaku yang menekankan pada aspek fisiologis, perilaku maupun kognitif. Konseling behavioral mengetengahkan proses belajar pada proses konselingnya. Pada pendekatan ini, anak dibimbing dan diarahkan agar perilaku agresifnya dapat ditekan dan bahkan dirubah menjadi perilaku-perilaku produktif. Misalnya, jika anak suka memukul temanya, maka anak dapat diarahkan untuk mengikuti beberapa kegiatan yang melibatkan aktivitas fisik, seperti berlatih berkebun dan bermain bola. Melalui konseling behavioral perilaku agresif anak dapat dikendalikan dengan dimanfaatkan untuk mengendalikan perilaku agresifnya, sehingga agresifitas yang dimiliki anak akan lebih mengarahkan pada hal-hal positif.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli di atas dapat disimpulkan pengertian konseling kelompok dengan pendekatan behavioristik merupakan salah satu layar konseling yang diselenggarakan dalam suasana kelompok, adanya pengungkapan dan pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-sebab timbulnya masalah. Upaya pemecahan masalah kegiatan dan tindak lanjut untuk mengubah individu atau kelompok yang mengalami penyimpangan perilaku (maladaptif) kepada perilaku yang adaptif.

PERAN GURU TERHADAP SISWA DAN KEGIATAN BELAJAR


Peran Guru
1.    Pengertian Peran Guru
Sebelum kita membahas tentang peran guru, maka terlebih dahulu kita memahami definisi kata peran dan guru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, peran diartikan sebagai perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.
Sedangkan guru adalah seseorang yang pekerjaannnya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Guru mengajarkan berbagai disiplin ilmu, baik ilmu agama, eksakta, pengetahuan umum, maupun keterampilan. Sebagai guru pribadinya harus bisa digugu dan ditiru atau diteladani oleh anak didik maupun masyarakat. Karena anak didik atau masyarakat tidak hanya membutuhkan tutor, tetapi juga panutan yang bisa menuntunnnya menjadi lebih baik dalam hal sikap, mental, pengetahuan, maupun keterampilan sebagai bekal hidup.
Guru sebagai sosok yang dijadikan barometer dan alat ukur masyarakat dalam bersikap dan berperilaku. Ada pepatah bila guru kencing berdiri, maka murid akan kencing sambil berlari. Dengan kata lain bila guru berperilaku buruk, maka murid akan berperilaku lebih buruk. Sehingga guru benar-benar harus bisa menjaga sikap, perilaku, dan harga dirinya baik di depan keluarga, anak didiknya, teman sejawat, atasan, maupun masyarakat di lingkungan manapun dia berada.
Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 pasal 1 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Syawal Gultom, 2012:4).
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran guru adalah perangkat tingkah laku yang baik sebagai kepribadian dasar seorang guru dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Peranan guru sangat penting dalam dunia pendidikan karena selain berperan mentransfer ilmu pengetahuan ke peserta didik, guru juga dituntut memberikan pendidikan karakter dan menjadi contoh karakter yang baik bagi anak didiknya. Apalagi saat ini bangsa kita sedang dilanda krisis moral atau kebobrokan moral yang sudah sangat memprihatinkan. Bangsa kita dulu terkenal sebagai bangsa timur yang berbudi luhur dan sangat menjunjung tinggi etika, ramah tamah, dan kehidupan religi yang sangat kuat. Sungguh ironis bahwa kini berubah menjadi bangsa yang bermoral sangat rendah dan negara muslim terbesar di dunia yang kehidupan umatnya jauh dari tuntunan agama.

Berbagai predikat negatif tingkat regional maupun internasional kini disandang bangsa kita. Negara terkorup, prostitusi dan perjudian merajalela, minuman oplosan yang sering memakan korban, surga bisnis narkoba mulai dari pemakai, bandar, bahkan pabrik besar. Kita juga menempati angka tertinggi aborsi dengan segala hal buruk lainnya yang menyertai aborsi karena hamil di luar nikah baik usia anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini adalah bangsa kita menjadi persemaian subur bagi paham-paham radikal yang bertindak arogan, egois, anarkis, dan kejam di luar batas kemanusiaan dengan dalih jihad.
Hal-hal negatif seperti tersebut di atas bisa terjadi, karena pondasi karakter bangsa kita sangat lemah sehingga mudah terpengaruh dan terjerumus. Bahkan sebagian besar masyarakat kita beranggapan bahwa, hal-hal tersebut di atas adalah wajar di jaman sekarang ini.
Oleh karena itu guru sangat diharapkan dapat berperan maksimal untuk memperbaiki keadaan ini. Melalui penanaman karakter yang kuat, akan membentengi bangsa kita dari perilaku negatif yang sangat merugikan itu. Karena karakter yang kuat akan membentuk pribadi yang berkualitas. Sehingga akan lahir generasi masa depan bangsa yang akan menjadi sumber daya manusia pembangun bangsa menuju Indonesia yang maju dan bermartabat.


2.    Macam-macam Peran Guru
Mujtahid (dalam Sudarwan Danin, H Khairi, 2012 : 47) mengemukakan bahwa ada 4 peran bagi guru, yaitu:
a.    Guru sebagai perancang
Guru menyusun kegiatan akademik atau kurikulum dan pembelajaran, menyusun kebutuhan sarana prasarana, dan mengestimasi sumber-sumber pembiayaan operasional sekolah, serta menjalin menjalin hubungan dengan orang tua dan masyarakat, pemangku kepentingan dan instansi terkait;
b.    Guru sebagai penggerak/mobilisator
Guru sebagai mobilisator yang mendorong dan menggerakkan system organisasi sekolah;
c.    Guru sebagai evaluator
Guru melakukan evaluasi atau penilaian terhadap aktivitas yang telah dikerjakan dalam sistem sekolah;
a.         Guru sebagai motivator
Guru sebagai penyemangat atau daya gerak bagi murid, teman sejawat, dan lingkungan untuk melaksanakan aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan.
Namun pendidikan anak usia dini tidaklah sama dengan pendidikan dasar maupun pendidikan menengah, karena anak didik di usia dini masih dalam tahap perkembangan baik emosi, kecerdasan, maupun keterampilannya. Sehingga anak usia dini membutuhkan pendampingan ekstra, agar mereka bisa mencapai perkembangan yang maksimal. Pendidikan anak usia dini sebagai pondasi pembentukan pribadi, maka sangat diperlukan peran guru untuk bisa menanamkan sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan yang kuat untuk menuju jenjang pendidikan selanjutnya. Bila guru di setiap jenjang pendidikan bisa berperan maksimal, maka apa yang ditanamkan guru PAUD pada anak didik akan dapat terus dipupuk dan dikembangkan. SDM masa depan yang tangguh, berkualitas, dan berkarakter pun akan terwujud. Maka selain peran yang telah disebutkan di atas, menurut peneliti ada peran tambahan dari guru yang sangat diperlukan untuk anak didik.
Adapun peran tambahan yang harus dilaksanakan oleh guru PAUD adalah, sebagai berikut :
a.    Guru sebagai ibu
Lembaga PAUD merupakan lingkungan baru yang pertama dikenal anak usia dini di mana anak akan berinteraksi dengan orang lain di luar keluarganya. Sehingga sangat membutuhkan sosok yang bisa memberikan kasih sayang, kehangatan, rasa aman dan nyaman, kelembutan juga kesabaran layaknya seorang ibu. Karena guru adalah orang tua kedua bagi anak, maka guru PAUD hendaknya bisa menjadi sosok ibu yang didambakan anak dalam mendampinginya belajar, agar anak merasa nyaman selama di sekolah.

b.    Guru sebagai teman
Dunia AUD adalah dunia bermain, sehingga dalam proses pembelajaran di PAUD berprinsip belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar. Untuk mewujudkannya guru PAUD hendaknya bisa menempatkan diri sebagai teman atau patner belajar atau bermain yang baik, agar kegiatan belajar atau bermain dapat menghadirkan rasa senang dalam diri anak didik. Bila hal ini bisa dilakukan, maka anak didik tidak terbebani dengan kegiatan belajarnya, karena mereka merasa kegiatan belajarnya adalah bermain yang menyenangkan.
c.    Guru sebagai audien
Anak usia dini masih egosentris, sehingga mereka akan selalu mencari perhatian. Mereka akan merasa kecewa, kesal, dan marah bila keinginannya tidak terpenuhi. Karena itu, guru PAUD hendaknya bisa menempatkan diri sebagai pendengar dan penonton yang baik. Apa yang dilakukan anak sebagai unjuk kerja mengaktualisasi kemampuannya diapresiasi, agar anak menjadi bangga pada apa yang dicapainya dan memupuk rasa percaya diri anak.
d.    Guru sebagai idola
Anak usia dini masih dalam tahap meniru. Karena anak usia dini belajar dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan dari apa yang ada di sekitarnya. Guru harus bisa menjadi sosok yang menarik dan dikagumi anak didik, sehingga anak akan meniru karakter mulia dari guru melalui pembiasaan, bukan meniru tokoh-tokoh yang mereka lihat di media masa.
e.    Guru sebagai inovator
Anak usia dini mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga mereka cepat merasa bosan apalagi terhadap rutinitas yang kurang menarik. Seorang guru harus selalu berinovasi agar mendapatkan hal-hal baru yang mendukung KBM menjadi PAIKEM. Bila KBM bisa dilaksanakan dengan PAIKEM, maka kemauan dan kemampuan anak usia dini akan berkembang maksimal.
Sementara Hamalik (dalam Kunandar, 2007: 58-59), menyatakan bahwa ada 13 peranan guru di dalam kelas, yakni:
a.    Guru sebagai pengajar menyampaikan ilmu pengetahuan (perlu memiliki keterampilan memberikan informasi di dalam kelas);
b.    Guru sebagai pemimpin kelas perlu memiliki keterampilan cara memimpin kelompok-kelompok siswa;
c.    Guru sebagai pembimbing perlu memiliki keterampilan cara mengarahkan dan mendorong kegiatan belajar siswa;
d.    Guru sebagai pengatur lingkungan perlu memiliki ketrampilan mempersiapkan dan menyediakan alat dan bahan pelajaran;
e.    Guru sebagai partisipan perlu memiliki keterampilan cara memberikan saran, mengarahkan pemikiran kelas, dan memberikan penjelasan;
f.     Guru sebagai ekspeditur perlu memiliki keterampilan menyelidiki sumber-sumber masyarakat yang akan digunakan
g.    Guru sebagai perencana perlu memiliki ketrampilan cara memilih, meramu bahan pelajaran secara professional; h. Guru sebagai supervisor perlu memiliki keterampilan mengawasi kegiatan anak dan keterlibatan kelas;
i.     Guru sebagai motivator perlu memiliki ketrampilan mendorong motivasi belajar siswa;
j.     Guru sebagai penanya perlu memiliki keterampilan cara bertanya yang merangsang siswa berpikir dan memecahkan masalah;
k. Guru sebagai pengajar perlu memiliki ketrampilan cara memberikan ganj aran terhadap siswa yang berprestasi;
l.     Guru sebagai evaluator perlu memiliki keterampilan cara menilai siswa secara objektif, kontinu, dan komprehensif;
m. Guru sebagai konsuler perlu memiliki keterampilan cara membantu siswa yang mengalami kesulitan tertentu
3.    Kompetensi Guru Dalam melaksanakan tugas.
Seorang guru harus mempunyai kompetensi sebagai pendidik agar kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lancar dan tujuan pendidikan dapat tercapai maksimal. Namun terlebih dahulu kita perlu mengetahui pengertian dari kompetensi guru. Kunandar (2007: 55) mengemukakan bahwa kompetensi guru adalah seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif. Adapun kompetensi guru meliputi:
a.    Kompetensi intelektual, yaitu berbagai perangkat pengetahuan yang ada dalam diri individu yang diperlukan untuk menunjang berbagai aspek kinerja sebagai guru;
b.    Kompetensi fisik, yaitu perangkat kemampuan fisik yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan tugas sebagai guru dalam berbagai situasi;
c.    Kompetensi pribadi, yaitu perangkat perilaku yang berkaitan dengan kemampuan individu dalam mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri untuk melakukan transformasi diri, identitas diri, dan pemahaman diri;
d.    Kompetensi social, yaitu perangkat perilaku tertentu yang merupakan dasar dari pemahaman diri sebagai bagian yang tak  terpisahkan dari lingkungan sosial secara efektif yang meliputi kemampuan interaktif dan pemecahan masalah kehidupan sosial;
e. Kompetensi spiritual, yaitu pemahaman, penghayatan, serta pengamalan kaidah-kaidah keagamaan (Surya, Seminar Sehari 6 Maret 2005).
4.    Hal-hal Yang Mempengaruhi Peran Guru
Dalam melaksanakan tugasnya, ada beberapa hal yang mempengaruhi peran guru, yaitu:
a.    Masih adanya kesalahan yang dilakukan guru dalam pembelajaran. Mulyasa (dalam Kunandar, 2007:42-43) menyatakan bahwa, ada tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran, yaitu: (1) mengambil jalan pintas dalam pembelajaran; (2) menunggu peserta didik berperilaku negative; (3) menggunakan destructive discipline; (4) mengabaikan perbedaan peserta didik; (5) merasa paling pandai dan tahu; (6) tidak adil (diskriminatift); dan  (7) memaksa hak peserta didik.
b.    Paradigma yang harus diperhatikan guru Paradigma baru yang harus diperhatikan guru dewasa ini agar dapat melaksanakan perannya secara maksimal adalah sebagai berikut:
a)    Tidak terjebak dalam rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan memberdayakan diri secara terus-menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada aktivitas datang, mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangkan potensi diri secara maksimal.
b)    Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan motivasi belajar peserta didik. Guru harus menguasai berbagai macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran sehingga proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan.
c)    Dominasi guru dalam pembelajaran, dikurangi sehingga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar mengajar.
d)    Guru mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi.
e)    Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi yang menyenangkan.
f)    Guru mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir sehingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini.
g)    Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi.
h)    Guru mempunyai visi ke dapat dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang baik.
5.    Kriteria guru yang kreatif dan profesional
Andi Yuda Asfandiyar (2010: 20-25) berpendapat agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara maksimal maka, diperlukan guru yang kreatif dan professional, dengan kriteria sebagai berikut :
a.    Fleksibel
Guru tidak kaku, luwes, dan dapat memahami kondisi dan anak didik, memahami cara belajar mereka, serta mampu mendekati anak didik melalui berbagai cara sesuai kecerdasan dan potensi masing-masing anak.
b.    Optimis
Guru harus punya keyakinan yang tinggi akan kemampuan pribadi dan keyakinan akan perubahan anak didikke arah yang lebih baik melalui proses interaksi guru-murid yang fun akan menumbuhkan karakter yang sama terhadap anak didik
c.    Respek
Rasa hormat yang senantiasa ditumbuhkan di depan anak didik akan dapat memicu dan memacu mereka untuk lebih cepat tidak sekedar memahami pelajaran, namun juga pemahaman yang menyeluruh tentang berbagai hal yang dipelajarinya.
d.    Cekatan
Guru mampu bertindak sesuai kondisi yang ada dalam menghadapi anak-anak yang berkarakter dinamis, aktif, eksploratif, ekspresif, kreatif, dan penuh inisiatif.
e.    Humoris
Guru harus mempunyai humor, agar dapat membantu mengaktifkan kinerja otak kanan anak. Karena anak-anak menyukai proses belajar yang menyenangkan bukan yang menegangkan dan membosankan.

f.     Inspiratif
Guru harus menemukan banyak ide dari hal-hal baru yang positif di luar kurikulum, yang dapat membuat anak didik terinspirasi untuk menemukan hal-hal baru dan lebih memahami informasi-informasi pengetahuan yang disampaikan guru.
g.    Lembut
Pengaruh kesabaran, kelembutan, dan rasa kasih sayang akan lebih efektif dalam proses belajar mengajar dan lebih memudahkan munculnya solusi atas berbagai masalah yang muncul.
h.    Disiplin
Disiplin mencakup berbagai hal, sehingga guru harus mampu menjadi teladan kedisiplinan tanpa harus sering mengatakan tentang pentingnya disiplin.
i.     Responsif
Guru harus cepat tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, baik pada anak didik, budaya, sosial, ilmu pengetahuan, maupun teknologi, dan lain-lain.
h.    Empatik
Guru harus mempunyai kesabaran lebih untuk memahami keberagaman karakter anak didik, sehingga bisa lebih memahami kebutuhan-kebutuhan belajar mereka.
k.    Bersahabat
Guru harus bisa menjadi teman bagi anak didik yang akan menghasilkan ikatan emosional yang lebih kuat daripada sekedar hubungan guru-murid. Sehingga akan memudahkan anak didik beradaptasi dalam menerima pelajaran dan bersosialisasi dengan lingkungannya.
l.     Suka dengan anak-anak
Guru harus menyukai anak-anak dan dunia anak-anak, agar mereka menikmati aktivitasnya ketika mereka bermain dan belajar bersama.